Trend senyawa aromatic chemical berbasis Bioteknologi

Penggunaan bioteknologi sebagai penghasil senyawa perasa dan aroma di dunia sudah sejak lama dilakukan oleh manusia sejak zaman dahulu kala. Proses pembuatan Wine, tuak, arak atau jenis alkohol lainnya. Pengawetan makanan, mayat dan kosmetika. Kemudian obat – obatan yang mulai di kenalkan pengolahan biotek asam laktat menggunakan Lactobacilus oleh Louis Pasteur pada tahun 1857 dan dikomersialkan oleh Boehringer Ingelheim pada tahun 1895. Kemudian ada Alexander Fleming yang mendapatkan nobel karena Penicilin nya di Tahun 1944.

Selanjutnya Bioteknologi digunakan pada pengembangan perasa makanan yang cukup fenomenal, yakni monosodium glutamat (MSG), orang Indonesia sering menyebutnya sebagai micin. Pada tahun 2017 pendapatan dari penjualan tercatat sekitar $4700 milyar dan diprediksi akan meningkat hingga mencapai $5850 milyar pada Tahun 2020. MSG yang pertama kali ditemukan oleh Kikunae Ikeda pada tahun 1907 di Tokyo Imperial University, kemudian Beliau mematenkannya di Tahun 1908 dan memulai Produksi massalnya pada Tahun 1909 dibawah Perusahaan Suzuki Seiyakusho Co, yang  sekarang terkenal dengan nama Aji- no – moto yang berarti “Intisari Rasa”.

BASF Venture Capital telah menginvestasikan $ 13,5 juta di Allylix, sebuah perusahaan bioteknologi yang membuat bahan kimia khusus terbarukan untuk industri F&F. BASF mengatakan investasinya akan memungkinkan untuk memperluas penggunaan bahan baku terbarukan, aroma, bahan kimia kosmetik, dan pasar nutrisi. Pendanaan adalah bagian dari putaran pembiayaan senilai $ 18,2 juta yang juga melibatkan investor yang sudah ada, termasuk Tate & Lyle Ventures. Allylix akan menggunakan uang itu untuk mengomersialkan produk-produk dalam jaringannya, yang pertama adalah epi-β-vetivone. Merek Dagang  Epivone, merupakan senyawa terpene terkait dengan komponen utama minyak akar wangi, minyak atsiri dengan aroma kayu.

Pada September 2014, Konvensi IFEAT di Roma membahas tentang peran bioteknologi dan pentingnya untuk industri flavor & fragrance secara ekstensif. Panchapagesa Murali (Evolva) menunjukkan bahwa sektor biotek saat ini sudah dapat menangani senyawa – senyawa yang mudah dibuat, namun kedepan permintaan akan permintaan senyawa yang lebih kompleks dapat diusahakan juga.

Toine Janssen of Isobionics (Produsen bahan jeruk alami, valencene dan nootkatone via biotech) mengatakan bahwa teknologi fermentasi dapat menghasilkan banyak produk dari golongan terpen dan seskuiterpenoid yang digunakan luas dalam industri F&F, termasuk carvone, menthol dan pinene.

Pascal Longchamp (Evolva) menyebutkan bahwa proyek-proyek baru untuk memproduksi gaharu (Oud) dan safron sekarang sedang berlangsung. Jason Kelly (Ginkgo BioWorks) mengindikasikan bahwa banyak dari perusahaan biotek baru berada dalam kemitraan tidak hanya dengan perusahaan F & F tetapi juga dengan mereka yang menggunakan bahan bakar / biofuel dan produk sejenis yang dapat diproduksi melalui proses biosintesis.

Berkembangnya produksi – produksi senyawa menggunakan biotek ini tidak lepas dari pengembangan strain – strain baru cendawan, fungi, bakteri yang di modifikasi ataupun dimuliakan. Bisa dikatakan hampir sebagian besar proses biosintesis senyawa ini menggunakan mikroorganisme mutan. Sebenarnya di Tahun – tahun lalu kita sudah sering melihat lewat film – film Hollywood bahwa pengembangan strain – strain baru yang dilakukan oleh perusahaan perusahaan swasta yang bergerak dibidang biotek, sebut saja resident evil, Elysium dan yang terbaru adalah Deadpool 😀

Fluktuasi harga minyak atsiri di berbagai belahan dunia, termasuk juga di Indonesia, bencana alam, kerusakan lingkungan, penebangan hutan dan perubahan iklim mendorong perusahaan F&F besar untuk mencari satu sumber bahan baku yang sama untuk menggantikan bahan baku yang sudah ada.

Perusahaan – perusahaan diatas menggunakan gula sebagai bahan baku pada proses biosintesis terpenoid untuk menghasilkan senyawa aromatic chemical. Terpenoid merupakan suatu senyawa yang tersusun atas 5 unit atom karbon, bisa disebut Isoprene. Dari isoprene ini kita bisa mengklasifikasikannya sesuai dengan jumlah atom karbon yang dimiliki. Monoterpen (C10), Sesquiterpen (C15), Diterpen (C20), Triterpen (C30), Teteraterpen (C40), dan Polyterpen (Cn). Tumbuhan banyak yang menghasilkan monoterpen dan sesquiterpen dalam tubuhnya digunakan sebagai alat pertahanan diri, pengundang polinator, atau repellent.

Hasil dari proses biosintesis terpenoid oleh tumbuhan ini adalah minyak atsiri. Contohnya adalah Patchouli alkohol pada Nilam, merupakan sesquiterpen alkohol. Maka dari itu kedepan, peran bioteknologi dalam pengembangan senyawa aromatik ini semakin vital dan nyata. Jika kita mengacu pada pernyataan CEO dari Isobionics bukan tidak mungkin nantinya hampir sebagian besar aromatic chemical dihasilkan oleh mikroorganisme.

Proses biosintesis gula menjadi vanilin

Oke, sampai mana Indonesia? masih dalam taraf pengguna dan pasar bagi perusahaan – perusahaan yang disebutkan diatas. Masih sedikit perusahaan di Indonesia yang memulai untuk membuat senyawa perasa dan aromatik ini menggunakan bioteknologi, contohnya Kecap Bango. Melihat nilai investasi yang cukup besar digelontorkan, tentunya kita dapat mengasumsikan bahwa revenue yang akan didapat sebanding dengan investasi yang digelontorkan dan hal ini adalah prospek yang seharusnya ditangkap oleh para pengusaha di Indonesia.

Semoga saja, kita tidak ketinggalan terlalu jauh.

 

2 Replies to “Trend senyawa aromatic chemical berbasis Bioteknologi”

Leave a Reply to martsiano Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *