(1) Ø Ø vaṁ(ṅ) a‹m›(p)un· I(n)i sakakala, pr(ə)bu ratu pura:na pun·, ḍivas·tu (2) ḍyi, viṅaran· prəbu guru ḍe(va)ta p(ra)n· ḍivas·tu ḍyə ḍiṅaran· sri(3) baduga maharaja, ratu ha(j)i ḍi pakvan· pajajaran· sri sa‹ṁ› ratu ḍe-(4) vata pun· ya nu ñusuk· na pakvan· ḍyə Anak· rahyi‹ṁ› ḍeva nis·- (5) kala, sa‹ṁ› siḍa mok(·)ta ḍi gunuṁ tiga, qə‹ñ›cu rahyiṁ (n)is·kala vas·tu(6) ka‹ñ›ca:na, saṁ siḍa mok·ta ka nusa laraṁ, ya syi nu (ñ)yin· sakaka- (7) la, gugun(uṅ)an·, (ṅa)balay·,, ñyin· samiḍa, ñyin· saṁ hyi‹ṁ› talaga va- R̥na mahavijaya, ya syi pun·,, ØØ I saka, pañca pan·ḍa-(9) va ṅ(ə)‹m›ban· bumi Ø Ø.
Tulisan diatas adalah isi Prasasti Batu Tulis peninggalan Sri Baduga Maharaja, Raja Pakwan Pajajaran. Menarik bagi saya adalah point ke 7 diatas dimana disebutkan 4 Peninggalan Besar Sri Baduga Maharaja.
- Gugunungan
- Balay, atau jalan yang diperkeras
- Hutan Samidha
- Telaga
Proyek infrastruktur jaman Sribaduga Maharaja yang membuat Beliau Masyhur. Peninggalan ketiga adalah hutan Samidha, dibeberapa literatur menyebutkan bahwa Hutan Samidha adalah cikal bakal berdirinya Kebun Raya Bogor. Saya jadi teringat Majalah National Geographic beberapa tahun silam yang mengulas tentang ulang tahun yang ke 200 Kebun Raya Bogor. Berarti jika kita tarik lebih belakang upaya konservasi dan pembangunan arboretum ini sudah berusia 500 tahunan.
Bila menilik sejarah masa lalu, di tatar Sunda ternyata telah dilakukan upaya-upaya besar seperti pembuatan hutan untuk kepentingan perlindungan dan pembuatan telaga suci. Juga membuat jalan batu yang diistilahkan dengan ngabalay serta membuat gugunungan. Penguasa Sunda saat itu sudah memiliki dimensi ekologi dalam merancang kotanya untuk keberlanjutan jangka panjang (Melani Kurnia Riswati).
Samida merupakan hutan konservasi yang didirikan pada masa kerajaan Pajajaran oleh Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja). Saat itu, hutan tersebut dibuat sebagai upaya perlindungan karena di dalamnya terkandung kayu yang digunakan untuk upacara suci yang juga sebagai reservoir air (Melanie)
Beberapa jenis tanaman yang mungkin tersedia di hutan atau lingkungan seperti ini bisa meliputi:
- Pohon Peepal (Ficus religiosa) – Pohon yang dianggap suci dalam agama Hindu dan sering digunakan dalam berbagai upacara keagamaan.
- Pohon Banyan (Ficus benghalensis) – Pohon ini juga memiliki makna spiritual dalam banyak tradisi keagamaan India.
- Pohon Sandalwood (Santalum album) – Kayu cendana sering digunakan dalam ritual dan upacara, baik sebagai dupa atau kayu bakar suci.
- Pohon Mangga (Mangifera indica) – Daun dan kayu mangga sering digunakan dalam ritual sebagai simbol kesuburan dan keberuntungan.
- Pohon Ashoka (Saraca asoca) – Pohon ini memiliki makna religius dan sering ditemukan di sekitar kuil atau digunakan dalam ritual.
- Pohon Sala (Shorea robusta) – Pohon ini juga biasa ditemukan di hutan India dan kayunya digunakan dalam beberapa tradisi ritual.
Pada 2019, Prof. Dr. Usep Soetisna, Botanis, menemukan kembali bahwa Samidha adalah Pohon Plasa atau Palasa (dalam Bahasa Sunda) dan Ploso (dalam Bahasa Jawa) yang bernama latin Butea monosperma. Menurut mantan Kepala Kebun Raya Bogor ini, dalam Buku PROSEA, Plant Resources of South-East Asia 3, Dye and tannin-producing plants, disebutkan bahwa pohon ini banyak digunakan oleh pemeluk agama Hindu untuk upacara-upacara keagamaan.
- Pohon Palasa (Butea monosperma)- Pohon spesies Butea yang berasal dari daerah tropis dan subtropis di Asia Selatan dan Asia Tenggara . Ia juga dikenal sebagai api hutan , kino Bengal , dhak , palash , dan jati bajingan . Dihormati sebagai tanaman suci oleh umat Hindu , ia dihargai karena menghasilkan banyak bunga berwarna cerah, dan ia juga dibudidayakan di tempat lain sebagai tanaman hias.
Pada beberapa manuskrip Hindu India, Istilah “Samidha” dalam konteks hutan sering kali terkait dengan ritual Veda kuno, di mana “Samidha” merujuk pada ranting kecil atau potongan kayu yang digunakan sebagai persembahan untuk menjaga api suci (Agni) selama upacara Yajna atau upacara keagamaan. Dalam pengertian ini, “hutan Samidha” bisa secara puitis atau simbolis merujuk pada hutan yang menyediakan persembahan suci ini, atau bisa juga menjadi nama tempat yang memiliki makna budaya atau spiritual yang berkaitan dengan praktik tersebut.
Namun ternyata ada beberapa budayawan yang menolak bahwa yang dibudidayakan adalah pohon pohon diatas. Berdasarkan naskah pantun Bogor Naskah Sang Hyang Siksa Kandang Karesian menceritakan, Kayu Samida adalah kayu yang wangi untuk ngukus , mudah terbakar dan berwarna hitam. Masih Menurut pantun Bogor wanginya kayu samidha bisa menembus 9 mandala dan bisa untuk memanggil karuhun turun ke bumi.
Pada saat itu kayu samidha juga dipakai untuk mengkremasi raja-raja besar, dan untuk memohon doa kepada Sanghyang Tunggal. Berdasarkan penulusuran ditemukanlah suatu situs di Rancamaya. Kuncen situs tersebut mengatakan dia pernah merawat pohon samidha sebelum pohon tersebut tumbang tahun 1975. Menurut kuncen tersebut pohon samida kulitnya pecah seperti kulit pinus, kayunya hitam dan daunnya seperti pohon beringin. Melihat ciri – cirinya kental sekali dengan jenis Aquilaria malaccensis. (Maki Sukmawijaya)
Kenapa Prabu Sribaduga membuat hutan Samidha (Gaharu)?
- Karena pohon gaharu beringin bukanlah tumbuhan asli jawa barat atau pulau jawa. Sehingga perlu ditanam dan diperbanyak.
- Pohon gaharu mempunyai nilai ekonomis paling tinģgi dan telah diperdagangkan sebagai komoditi antar pulau.
- Pohon gaharu beringin yg paling wangi diantara semua pohon gaharu dan dipakai untuk ritual pemujaan dalam upacara keagamaan di Pajajaran.
Untuk perbandingan, ternyata komoditi kerajaan Sriwijaya juga adalah pohon gaharu jenis beringin. Tidak jauh dari situs kerajaan Sriwijaya banyak ditemukan pohon gaharu beringin sampai dengan sekarang. Jadi tidaklah heran Prabu Sribaduga menanam pohon Samidha atau gaharu beringin karena memang saat itu adalah komoditas yang bernilai ekonomi tinggi sampai saat ini juga (Maki Sukmawijaya).
Tapi apakah benar jika Sri Baduga memerintahkan membuat hutan gaharu buatan? sampai saat ini masih menjadi teka teki. Belum ada bukti ilmiah yang mendukung dan sisa sisa adanya tumbuhan tersebut, kecuali penanaman terbaru, bahkan di situs resmi milik Kebun Raya Bogor yang ditanam bukan jenis Aquilaria malacensis, melainkan dari jenis Grynops. Menjadi menarik lagi jika betul terjadi, apakah Sri Baduga Maharaja juga sudah menemukan teknik inokulasinya ya 😀 ?
Menurut saya ini sangat keren, bahwa leluhur Bangsa Sunda sudah memikirkan tentang konservasi, jauh sebelum adanya konvensi modern tentang adanya konservasi. Menilik dari beberapa tumbuhan yang disebutkan diatas, ada beberapa jenis yang memiliki kandungan minyak atsiri. Walaupun dulu mungkin penggunaannya tidak digunakan sebagai minyak, tapi digunakan untuk dupa ataupun simplisia.
Menurut Prof Mangestuti, penggunaan senyawa aromatik dalam metode asap merupakan salah satu metode aromaterapi. Dan penggunaan tersebut dalam upaya untuk meraih ketenangan dan kedamaian dalam proses Ngahiyang, atau mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Tunggal.