Siang tadi, saya menerima benih cendana (Santalum album) yang saya pesan beberapa hari lalu dari kolega saya di Nusa Tenggara Timur (NTT). Benih ini istimewa, karena berasal dari wilayah asli tempat tanaman cendana tumbuh di alam liar. Ketertarikan saya untuk membudidayakan tanaman ini sudah dimulai beberapa tahun yang lalu, ketika saya menyadari bahwa banyak jenis tanaman atsiri di Indonesia yang belum diusahakan secara serius dalam skala ekonomi.
Indonesia sebenarnya sangat kaya akan potensi tanaman atsiri. Selama ini, tanaman atsiri yang dibudidayakan cenderung merupakan tanaman semusim seperti serai wangi atau nilam. Sementara itu, untuk tanaman tahunan, produk minyak atsirinya hanya menjadi produk sekunder. Biasanya, tanaman tersebut lebih diutamakan sebagai simplisia atau bahan rempah-rempah untuk makanan, sedangkan minyak atsirinya hanyalah hasil sampingan. Di sinilah saya melihat potensi besar yang belum banyak dilirik: tanaman tahunan dengan minyak atsiri sebagai produk utama.
Salah satu tanaman yang memiliki potensi besar adalah cendana. Cendana dikenal sebagai pohon penghasil kayu dan minyak atsiri yang sangat bernilai tinggi. Namun, sayangnya, cendana Santalum album, yang merupakan jenis asli dari Indonesia, jarang dibudidayakan dengan benar. Beberapa tahun lalu, penanaman cendana sempat menjadi tren di Indonesia. Sayangnya, banyak petani yang tertipu oleh model bisnis yang disebut monkey business, di mana mereka ditawari cendana yang diklaim akan cepat tumbuh dan menghasilkan minyak dalam waktu singkat dengan harga tinggi. Namun, banyak yang tidak menyadari bahwa cendana yang ditawarkan tersebut bukanlah jenis Santalum album, dan bahkan tidak bisa disebut sebagai cendana asli (Baca disini, Klik aja).
Sebagai perbandingan, cendana asli, terutama Santalum album, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk tumbuh dan berkembang. Namun, hasil yang didapatkan sangat bernilai tinggi, baik dari segi kualitas minyak atsiri maupun kayu yang dihasilkan. Selain itu, tanaman ini memiliki sejarah panjang dalam perdagangan rempah-rempah dan wewangian, khususnya di Asia. Saya pernah menulis tentang hal ini di artikel sebelumnya di web ini (Klik disini kalau mau baca), bahwa Indonesia sebenarnya adalah sumber asli cendana. Bahkan, cendana yang terkenal di Mysore, India, juga berasal dari Indonesia, tepatnya dari Nusa Cendana alias Nusa Tenggara Timur. Sejarah ini menunjukkan betapa pentingnya peran Indonesia dalam penyebaran dan pengembangan tanaman cendana di dunia.
Saat ini, cendana masuk ke dalam status rentan menurut IUCN 3.1, yang berarti bahwa tanaman ini terancam punah jika tidak ada upaya serius untuk melestarikannya. Salah satu cara untuk menjaga kelestariannya adalah dengan memperbanyak penanaman secara luas, baik di daerah asalnya maupun di wilayah-wilayah lain yang memiliki kondisi tanah dan iklim yang serupa. Meskipun saat ini sudah banyak tersedia tiruan aroma cendana sintetis, minyak atsiri cendana alami tetap menjadi primadona, terutama dalam industri parfum mewah dan produk-produk yang digunakan untuk keperluan ibadah serta ziarah.
Sementara upaya untuk membudidayakan cendana terus dilakukan di berbagai belahan dunia, salah satu kegagalan yang mencolok datang dari Australia. Quintis, yang pernah menjadi pemain utama dalam industri cendana dan salah satu penanam Santalum album komersial terbesar, mengalami kebangkrutan pada tahun 2018. Perusahaan yang berbasis di Australia ini telah membuat janji ambisius tentang budidaya dalam skala besar, dengan proyeksi bahwa perkebunan mereka akan memenuhi permintaan global yang terus berkembang untuk minyak cendana.
Namun, beberapa faktor menyebabkan kejatuhan Quintis. Salah satu masalah utamanya adalah overestimasi terhadap permintaan pasar dan harga cendana di masa depan. Saat semakin banyak perkebunan mulai beroperasi, perusahaan kesulitan menemukan pembeli yang cukup untuk harga tinggi yang telah mereka antisipasi. Selain itu, ada kekhawatiran tentang berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi pohon untuk matang dan menghasilkan minyak yang bernilai, karena cendana adalah tanaman yang tumbuh lambat dan merupakan investasi jangka panjang yang memerlukan kesabaran.
Kebangkrutan Quintis juga sebagian disebabkan oleh masalah transparansi dan kepercayaan investor. Perusahaan ini memasarkan perkebunannya sebagai peluang investasi dengan janji keuntungan tinggi, tetapi ketika kesulitan keuangan muncul dan permintaan tidak sesuai dengan harapan, kepercayaan investor merosot, yang menyebabkan penurunan tajam dalam kondisi keuangan perusahaan.
Pelajaran Apa yang Bisa Kita Petik dari Hal Ini?
Kisah Quintis menawarkan beberapa pelajaran berharga bagi mereka yang tertarik membudidayakan cendana, khususnya di Indonesia:
- Kesabaran dan Perencanaan Jangka Panjang
Cendana bukanlah investasi yang cepat menghasilkan keuntungan. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan dekade, bagi pohon cendana untuk matang dan menghasilkan minyak berkualitas tinggi yang dicari. Siapapun yang ingin berinvestasi dalam budidaya cendana harus siap untuk investasi jangka panjang. Petani dan investor harus memiliki ekspektasi yang realistis tentang waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil. - Riset Pasar dan Proyeksi yang Realistis
Overestimasi terhadap permintaan minyak cendana dan harga masa depannya merupakan faktor kunci dalam kejatuhan Quintis. Penting untuk melakukan riset pasar yang menyeluruh dan memiliki pemahaman yang jelas tentang permintaan saat ini dan kemungkinan perubahan di masa depan. Meskipun minyak cendana sangat dihargai, pasar bisa berfluktuasi, dan perkebunan baru dapat membanjiri pasar dengan pasokan, yang akan menurunkan harga. - Keberlanjutan dan Praktik Etis
Masa depan budidaya cendana terletak pada praktik budidaya yang berkelanjutan dan etis. Penebangan yang berlebihan dan pengelolaan yang buruk dapat menyebabkan krisis pasokan. Melindungi lingkungan, memastikan perawatan pohon yang tepat, dan menghindari eksploitasi sumber daya secara berlebihan akan sangat penting untuk kesuksesan jangka panjang industri ini. - Diversifikasi Sumber Pendapatan
Alih-alih bergantung sepenuhnya pada janji harga tinggi minyak cendana, para pembudidaya harus mempertimbangkan diversifikasi sumber pendapatan mereka. Dalam kasus Quintis, ketergantungan pada satu produk utama—minyak cendana—meninggalkan perusahaan rentan ketika pasar mengalami perubahan. Menjelajahi penggunaan lain untuk cendana, seperti kerajinan kayu atau produk aromatik, dapat memberikan pendapatan yang lebih stabil. - Pengetahuan Lokal dan Adaptasi
Salah satu alasan mengapa budidaya cendana mungkin berhasil di Indonesia adalah karena habitat alami tanaman ini dan keahlian lokal. Berbeda dengan Australia, di mana cendana bukan tanaman asli, petani Indonesia dapat memanfaatkan pengetahuan tradisional yang telah ada selama berabad-abad tentang cara menanam, mengelola, dan memanen cendana. Keterhubungan ini dengan ekologi lokal bisa menjadi keuntungan penting.
Dengan memahami pelajaran-pelajaran ini, semoga kita dapat lebih baik mempersiapkan diri untuk membudidayakan cendana dengan cara yang berkelanjutan dan menguntungkan, serta menghindari kesalahan yang sama yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan sebelumnya.
Dalam upaya melestarikan cendana, saya berencana untuk menanam benih Santalum album yang baru saya terima di daerah Bantul bagian selatan, yang berbatasan dengan Gunung Kidul. Wilayah ini memiliki kondisi yang cukup mirip dengan habitat asli cendana di NTT, yaitu batu bertanah, kering, dan marginal. Saya memilih lokasi ini karena tanaman cendana tumbuh baik di daerah yang kering dengan tanah yang tidak terlalu subur. Kondisi tanah berbatu dan iklim kering sangat mendukung pertumbuhan cendana, yang membutuhkan sinar matahari penuh serta drainase yang baik.
Namun, saya menyadari bahwa membudidayakan cendana bukanlah pekerjaan yang mudah. Cendana adalah tanaman semi-parasit, yang berarti ia membutuhkan tanaman inang untuk bisa tumbuh dengan baik, terutama pada fase awal pertumbuhannya. Oleh karena itu, pada tahap awal penanaman, saya harus menanamnya bersama dengan beberapa tanaman inang yang cocok. Tanaman inang ini akan memberikan nutrisi yang diperlukan oleh cendana melalui akarnya.
Proses budidaya cendana membutuhkan waktu dan kesabaran. Setidaknya dibutuhkan waktu minimal hingga 10 tahun atau lebih sebelum pohon cendana bisa dipanen untuk minyak atsirinya. Meskipun prosesnya panjang, saya yakin hasil yang didapatkan akan sepadan. Selain itu, saya juga termotivasi oleh keinginan untuk ikut melestarikan tanaman yang sudah langka ini, sekaligus memberikan nilai ekonomi yang tinggi bagi pertanian di Indonesia.
Dengan artikel ini, saya berharap semakin banyak orang yang tertarik untuk membudidayakan cendana dan tanaman atsiri lainnya. Indonesia memiliki potensi besar dalam industri minyak atsiri, dan dengan pengelolaan yang tepat, kita bisa mengembangkan tanaman-tanaman ini menjadi sumber penghasilan yang berkelanjutan serta menjaga kelestarian alam.
عن مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَنْ بَنَى بُنْيَانًا فِى غَيْرِ ظُلْمٍ وَلَا اعْتِدَاءٍ أَوْ غَرَسَ غَرْسًا فِى غَيْرِ ظُلْمٍ وَلَا اعْتِدَاءٍ كَانَ لَهُ أَجْرٌ جَارِيًا مَا انْتَفَعَ بِهِ مِنْ خَلْقِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ رواه أحمد
Artinya, “Dari sahabat Muadz bin Anas ra, Rasulullah saw bersabda, ‘Siapa saja yang mendirikan bangunan atau menanam pohon tanpa kezaliman dan melewati batas, niscaya itu akan bernilai pahala yang mengalir selama bermanfaat bagi makhluk Allah yang bersifat rahman,'” (HR Ahmad).