Paradoks EXIM Minyak Nilam
Indonesia merupakan produsen utama minyak nilam dunia, namun dinamika harganya sering kali memperlihatkan pola yang tidak selaras dengan logika pasar. Fenomena exim paradox muncul ketika harga ekspor justru lebih rendah daripada harga domestik, padahal permintaan terbesar datang dari pasar internasional. Paradoks ini menunjukkan adanya distorsi dalam mekanisme harga yang erat kaitannya dengan informasi pasar yang tidak seimbang.
Salah satu penyebab utama kondisi tersebut adalah misinformasi persediaan dalam negeri. Pasar internasional kerap memperoleh gambaran bahwa stok nilam Indonesia berlimpah, sehingga pembeli global memiliki ruang untuk menekan harga ekspor. Namun, di tingkat domestik, pasokan sering terbatas karena faktor musim panen yang tidak seragam, kapasitas penyulingan yang fluktuatif, serta hambatan distribusi dari daerah produksi ke pusat perdagangan. Hal ini menjelaskan mengapa harga domestik bisa naik, sementara harga ekspor tetap ditekan.

Kejadian pada akhir tahun 2023 hingga 2024 memberikan gambaran nyata. Pada periode tersebut, harga nilam di dalam negeri melonjak jauh di atas harga normal, bahkan mencapai hampir dua kali lipat dari kisaran harga historis. Lonjakan ini dipicu oleh pasokan yang menurun di tingkat petani, sementara permintaan tetap tinggi. Namun, di pasar ekspor, harga tidak bergerak secepat itu karena pembeli internasional masih berpegang pada asumsi bahwa pasokan Indonesia aman. Perbedaan persepsi inilah yang memperjelas manifestasi exim paradox.
Implikasi jangka panjangnya signifikan. Harga ekspor yang terus ditekan dapat melemahkan insentif petani, mendorong sebagian untuk meninggalkan budidaya nilam. Jika hal ini berlangsung berkelanjutan, maka luas tanam akan menyusut, kapasitas produksi menurun, dan Indonesia berisiko menghadapi kelangkaan minyak nilam di masa depan. Situasi ini bukan hanya menurunkan pendapatan petani, tetapi juga berpotensi menggerus dominasi Indonesia di pasar global, memberi peluang bagi negara pesaing untuk masuk.
Oleh karena itu, exim paradox pada minyak nilam tidak dapat dipandang sebagai fluktuasi biasa, melainkan persoalan struktural. Transparansi data stok, perbaikan sistem informasi pasar, dan penguatan posisi tawar petani menjadi kebutuhan mendesak. Tanpa intervensi yang tepat, fenomena harga seperti yang terjadi pada 2023–2024 bisa terulang dan menimbulkan risiko lebih besar bagi keberlanjutan industri nilam Indonesia.
