Penggunaan Oli Bekas Industri untuk menggantikan Kayu pada Penyulingan Minyak Atsiri, Study Kasus Oli Bekas IMIP

Gagasan ini sebenarnya masih sangat awal, mungkin hanya berupa percikan ide yang muncul di sela-sela percakapan dan pengamatan, tetapi justru di titik-titik seperti ini sering lahir kemungkinan besar yang selama ini tidak terpikirkan oleh industri penyulingan rakyat. Bayangkan ketika dua juta liter oli bekas—bahan yang biasanya dianggap limbah berbahaya dan sering berakhir mencemari tanah atau air—dipulihkan menjadi oli recovery non-B3 yang aman, bersih, dan bisa digunakan sebagai bahan bakar boiler. Dua juta liter ini saja, dalam hitungan sederhana, mampu menopang lebih dari sebelas ribu batch penyulingan untuk ketel 300 kg atau enam ribu batch untuk ketel 500 kg, mengacu pada konsumsi energi rata-rata 180 hingga 320 liter per batch. Jika satu ketel bekerja sekitar enam ratus batch dalam setahun, maka volume tersebut setara memenuhi kebutuhan energi tahunan sekitar sembilan belas ketel 300 kg atau sebelas ketel 500 kg—semuanya tanpa menyentuh kayu bakar sama sekali.

Ketika angka-angka ini ditarik lebih jauh ke dalam konteks lingkungan, gambarnya menjadi semakin jelas. Selama ini, satu batch penyulingan biasanya membutuhkan sekitar dua ton kayu bakar. Jika seluruh batch yang tadi dihitung disuplai oleh oli recovery, maka sekitar dua puluh dua ribu ton kayu tidak perlu ditebang. Dengan asumsi bahwa satu hektare hutan mengandung sekitar seratus ton kayu, maka energi berbasis oli recovery ini dapat menyelamatkan kira-kira dua ratus dua puluh hektare hutan dari eksploitasi. Bukan hitungan teoritis kosong, tetapi sebuah gambaran konkret tentang bagaimana perubahan kecil dalam sumber energi bisa menghasilkan pergeseran besar dalam pelestarian alam.

Selain dampaknya pada hutan, ada cerita lain yang diam-diam berperan: bagaimana oli bekas yang selama ini dianggap “berbahaya”—karena mengandung logam berat, degradasi aditif, dan residu pembakaran—bisa berbalik menjadi energi bersih. Dalam bentuk aslinya, oli bekas berpotensi mencemari tanah, merusak struktur mikrobiologi, dan merembes ke badan air. Tetapi ketika dipulihkan menjadi oli recovery non-B3, seluruh potensi kerusakan itu hilang, digantikan dengan nilai energi baru yang dapat menggerakkan ekonomi desa. Dengan memanfaatkan kembali limbah ini, rantai pencemaran diputus di hulu, sementara manfaat ekonominya kembali mengalir ke sektor hilir.

Namun, seperti setiap ide besar lain, gagasan ini bukan tanpa tantangan. Dunia penyulingan rakyat sudah puluhan tahun bergantung pada kayu bakar, dan perpindahan menuju energi cair jelas membutuhkan penyesuaian. Tidak semua ketel dirancang untuk bahan bakar cair; banyak yang memerlukan modifikasi pada burner, nozzle, atau sistem pembakaran agar berjalan aman dan efisien. Selain itu, kualitas oli recovery harus benar-benar stabil dan konsisten. Tanpa kontrol mutu yang ketat, risiko teknis bisa muncul di titik-titik kecil yang sering tidak terlihat. Ada pula persoalan infrastruktur: untuk mengolah dua juta liter oli bekas, dibutuhkan fasilitas regenerasi dengan standar tertentu, termasuk laboratorium dan sistem pengendalian limbah yang memenuhi regulasi lingkungan. Belum lagi tantangan sosial—sebagian penyuling masih memegang keyakinan kuat bahwa kayu bakar adalah cara paling aman, paling murah, dan paling mudah diatur.

@mazanotech

Burner Oli Bekas, bisa untuk pembakaran Boiler kecil atau buat bakar bakar yang lain #burner

♬ Distillation – Darling We’re Dreaming

Tetapi jika dilihat dari sudut keuntungan, gambarnya terlihat jauh lebih menjanjikan. Oli recovery memiliki harga yang relatif stabil dibandingkan kayu bakar yang harga dan ketersediaannya sangat dipengaruhi musim. Ketika hujan turun panjang, kayu menjadi langka dan kualitasnya menurun drastis. Di sisi lain, oli recovery bisa disimpan, diukur, dan dikontrol penggunaannya dengan presisi yang jauh lebih tinggi. Industrialisasi pengolahan oli bekas juga membuka lapangan kerja baru, membentuk ekosistem ekonomi baru di sekitar penyulingan minyak atsiri, dan memperpanjang rantai nilai industri yang selama ini hanya berputar pada bahan baku dan proses distilasi.

Keseluruhan gagasan ini, meskipun masih sebatas simulasi awal, sebenarnya memberi gambaran bahwa solusi energi bagi penyuling rakyat tidak harus rumit, mahal, atau berbasis teknologi tinggi. Kadang, jawabannya justru berada pada limbah yang selama ini kita pandang sebelah mata. Jika langkah sederhana ini bisa dijalankan pada skala industri, dampaknya bukan hanya mengurangi limbah B3, tetapi juga menyelamatkan hutan, menurunkan biaya produksi, dan memberikan arah baru bagi keberlanjutan minyak atsiri Indonesia.

Studi kasus IMIP yang menjadi titik berangkat ide ini memang masih berupa asumsi, mungkin hanya sejauh imajinasi teknis. Tetapi sejarah inovasi sering dimulai dari pertanyaan sederhana: bagaimana jika limbah yang selama ini kita buang, ternyata bisa memberi energi untuk masa depan? Jika pertanyaan ini terus diuji, bukan tidak mungkin kita sedang berada di depan sebuah penemuan penting bagi industri penyulingan nasional.

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *