Menurut Michael C. Thomsett dan Joshua Kahr, penulis Beyond the Bubble, aksi spekulasi dipicu oleh emosional manusia. Hal ini terlihat ketika harga bergoyang. Saat harga tinggi, para investor ingin terjun berinvestasi dengan harapan nilainya akan terus meninggi. Orang menjadi lebih haus keuntungan (rakus).
Ketika harga merunduk, investor mulai berlomba-lomba keluar dari pasar supaya investasinya tidak tergerus (ketakutan). hal ini memunculkan sikap irasional para investor sehingga melupakan jargon investasi paling dasar yakni “beli saat rendah dan jual saat harga tinggi.” Yang terjadi kemudian adalah orang cenderung beli saat harga tinggi dan jual ketika rendah.
Sama halnya ketika harga minyak naik, orang akan berlomba lomba menanam, hingga tidak terasa luasan tanam dan hasil produksi terlalu banyak melebihi kebutuhan. Akhirnya karena kebutuhan sudah tercukupi sedangkan pasokan masuk terus, beberapa strategi dipakai untuk meredam bubble minyak atsiri ini, bisa dengan menurunkan harga atau dengan membatasi pembelian terhadap minyak.
Ketika Bubble di minyak atsiri ini terjadi, maka dampak yang paling terasa adalah petani yang menanam di akhir akhir puncak masa bubble, walaupun kesemuanya petani juga akan mengalami masalah yang sama. Dalam bayangan nya rata rata para petani beranggapan bahwa komoditi ini aman jadi tidak masalah tidak melakukan back up rencana lain. Toh kawan kawan yang lain juga tidak masalah.
Kemudian yang kedua adalah penyuling, hampir sama dengan petani, namun resiko nya lebih rendah. Minyak hasil sulingan masih dapat disimpan dalam waktu lebih lama daripada raw material komoditi.
Karena pasokan banyak, biasanya ada saja Eksportir Banting harga di penjualan. Baik itu eksportir besar ataupun eksportir kecil. Kasus yang terjadi seperti saat ini terjadi ketika nilam diobral di harga kisaran $40an.
Selain itu beberapa alasan lain diantaranya logistik pengiriman di masa pandemi yang menjadi lebih lama, masa pembayaran menjadi lebih lama membuat cashflow beberapa perusahaan menjadi kosong. Pas sekali dimasa Bubble duit habis.
Pada masa kasus di Nilam 2021 ini, kondisi nya adalah sempat terjadi pembelian di harga murah sehingga mengakibatkan kepanikan, penjualan minyak dengan kualitas jelek juga sebenarnya sudah berlangsung sejak 2020, ketika itu permintaan di Luar negeri memang meningkat, jadi baik minyak bagus maupun jelek tetap diterima.
Walaupun saat ini para eksportir besar sudah berkomitmen kembali menaikan harga pembelian ditingkat penyuling dan pengepul besar tapi masih ada masalah, yakni pembelian masih dibatasi kuota nya dan para spekulan yang mengejar harga myurah.
Dampaknya adalah petani diminta untuk menahan minyak, penyuling menahan minyak, pengepul menahan minyak dan di eksportir pun masih ada stok minyak. See, banyak minyak disana. Kejatuhan harga minyak ini bakalan terjadi jika skenario ini dijalan kan terus. Dan bakalan Boom!
Solusi terburuknya adalah mengeluarkan semua minyak yang sudah tersedia terlebih dahulu. Resiko nya harga murah, murah sekali. Petani menjadi malas kembali untuk menanam. Luasan lahan penanaman jauh berkurang dan produksi minyak menjadi menurun.
Dampaknya akan terlihat di Q4 2021 sampai Q1 2022 volume akan berkurang banyak sekali. Tapi akan terjadi kestimbangan, harga menjadi naik kembali. Dan di masa ini minyak Spekulan di Q1 -Q3 2021 dikeluarkan. Karena harga minyak akan merangkak naik sedangkan pasokan menurun.
Saya saat ini hanya bisa berdoa dampaknya tidak terlalu parah untuk perekonomian petani dan penyuling minyak atsiri, apalagi dimasa pandemi ini. Juga saya berdoa semoga resiko terburuk ini tidak sampai terjadi
Ini hanya opini pribadi saya, jangan dipercaya 100%, karena saya manusia tempatnya salah dan dosa.
semoga harga bisa kembali stabil lagi bang,di harga yg normal setidaknya di kisaran 500 rb, soalnya dengan turun nya harga sekarang banyak petani di daerah saya malas lagi untuk menanam.. soalnya hasil nya sudah ngak seimbang lagi,dananya pembeli minyak juga kadang tidak ada, teruss untuk menjual minyak baru tahun’ini semua di tes PA banyak yg minyak nya di tolak karna tidak memenuhi standar dengan kerja nya akibat harga turun,tidak semua petani memiliki tanah yg luas lagi,di tambah untuk menyuling saja butuh pengeluaran yg banyak untuk sewa penyulingan,di tambah kayu untuk memasak juga mahal karna sudah langka,terus tidak semua org tau menyuling, untuk yg tidak menyuling harus di upahkan 35 rb/Kg
Aamiin, ketika harga turun, petani berlomba – lomba untuk segera mungkin menjual sehingga kualitas juga banyak yang jelek
good post