Merawat Benda Cagar Budaya dengan Minyak Atsiri

Banyak sekali bertebaran benda – benda cagar budaya di Indonesia, mulai dari ujung Aceh hingga Papua. Mulai dari sekedar Dolmen dan Sarkofagus, hingga candi – candi yang menjulang megahnya menggapai langit. Itu semua merupakan bukti bahwa para pendahulu bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki peradaban yang maju dan tinggi. Belum lagi banyak nya serat – serat rontal yang dimiliki bangsa ini. namun sayang memang sebagian besar tidak terselamatkan, atau bahkan sebagian diangkut keluar negeri.

Perbedaan warna pada batu candi merupakan serangkaian proses yang terjadi pada kerusakan batu candi

Kerusakan benda cagar budaya diakibatkan oleh beberapa macam atau jenis gangguan. Antara lain lumut, hujan asam, serangan serangga, jamur, cendawan, dan mikroba. Untuk mengatasi kerusakan BCB, terdapat suatu unit khusus untuk menangani maslaah tersebut, namun sayangnya memang belum dapat dilakukan secara merata ke seluruh BCB yang ada di Indonesia.

Selama ini upaya konservasi masih menggunakan pestisida, fungisida, dan insektisida sintetik seperti 5-bromo-3-sec-butyl-6-methyluracil (Hyvar-X), xylophene, aldrin, malathion, parathion, DDT (Dichloro Diphenyl  trichloroethane), dan CCA (Chromated copper arsenat).  Bahan-bahan tersebut merupakan bahan berbahaya dan beracun, yang menyebabkan bahaya bagi manusia yang melakukan konservasi, pengunjung, dan lingkungan sekitar benda cagar budaya. Bahan-bahan tersebut dapat menyebabkan kanker karena bersifat karsinogenik dan mutagenic sehingga dilarang digunakan untuk konservasi BCB.

Jika teman- teman sempat mampir ke candi – candi yang ditangani oleh BPCP, maka kadang akan terlihat sebagian candi yang batunya menguning akibat semprotan bahan kimia. Untuk itu sejak tahun 2014 Balai Konservasi Borobudur mulai melakukan penelitian menggunakan minyak atsiri sebagai bahan pengganti bahan kimia yang biasanya. Minyak atsiri yang digunakan oleh Balai Konservasi antara lain minyak daun cengkeh, minyak temulawak (Curcuma xanthoriza), minyak terpentin, minyak sereh wangi, dan nilam.

Keunggulan minyak atsiri sebagai bahan konservasi antara lain adalah minyak atsiri dapat difungsikan sebagai beberapa fungsi sekaligus. selain sebagai penolak serangga, minyak atsiri juga dapat berfungsi sebagai fungsi dan herbisida alami. Fungisida alami atau fungisida organik adalah fungisida yang terbuat dari bahan-bahan alami yang banyak tersedia di alam, salah satunya adalah minyak atsiri. Fungisida ini relatif lebih aman digunakan karena tidak mengandung bahan kimia berbahaya.

Skema pengendalian fungi pada batu candi, bangunan kayu, atau pada naskah rontal adalah senyawa aktif pada minyak atsiri akan menghancurkan dinding sel jamur, semakin bersifat korosif suatu minyak atsiri maka semakin cepat bereaksi pada dinding sel jamur.  Dengan hancurnya dinding sel jamur maka automatis jamur menjadi mati. Pada lumut atau lichen, minyak atsiri akan mengganggu proses imbibisi dengan menghancurkan dinding sel pada lumut, sehingga proses distribusi air yang mengangkut mineral terganggu sehingga proses fotosintesis ikut terganggu, akibatnya lumut menguning dan mati

Namun minyak atsiri yang digunakan tidak merusak struktur batuan candi, kayu ataupun serat rontal karena tidak bereaksi kecuali dalam serat rontal harus di atur dosis nya sekecil mungkin karena serat rontal atau kertas yang sudah berumur rentan terhadap degradasi, baik secara di sentuh maupun terpapar cahaya.

Kekurangannya adalah, umur ketahanan nya masih cendrung lebih singkat, dimungkinkan belum ditemukan media perekat yang tahan lama untuk minyak atsiri pada benda yang dikonservasi. sehingga perlu sering – sering penyemprotan pada batu candi atau benda lain. Berbeda hal nya jika disemprotkan menggunakan bahan kimia ACC 332 (atau bahan kimia lain seperti disebut diatas) yang lebih tahan lama.

aplikasi minyak atsiri daun cengkeh pada lichen, candi batubata dalam 24 Jam

Beberapa jenis pestisida/fungsida berbasis minyak atsiri telah diproduksi dan sering digunakan untuk mengendalikan patogen, serangga hama, dan vector patogen di lingkungan rumah, rumah kaca, dan peternakan. Pestisida berbasis minyak atsiri juga mempunyai nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration) dan LD (Lethal Dose) yang rendah, kompatibel, dan menghasilkan produk pertanian yang bebas residu. Balai Konservasi terus berupaya untuk terus meneliti penggunaan bahan bahan alami lainnya untuk konservasi benda cagar budaya, agar benda cagar budaya terhidar dari kerusakan yang lebih besar lagi. namun dengan cara yang lebih alami dan bersifat lokal.

Senang ikut berkontribusi preservasi benda cagar budaya, selain bekerjasama dengan beberapa BPCB di berbagai wilayah Indonesia untuk implementasi minyak atsiri pada lychen, Kami dan BPCB Borobudur juga menggunakan Makmul Gaharu kami untuk mengawetkan beberapa BCB terutama naskah naskah yang terbuat dari kulit kayu dan kertas. Makmul nya kami embankan beberapa minyak atsiri untuk menambah aroma dan sebagai media minyak atsiri.

Mari kita lestarikan Benda Cagar Budaya jangan sampai rusak, sehingga dapat menjadi cerita anak cucu kita bahwa kita, Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar  dan memiliki peradaban yang maju.

Credit :

Bapak – Ibu Peneliti Balai Konservasi Borobudur (Sri Wahyuni, Sugiyono, Winda Diah Puspita, Arif Gunawan)

Prof. Riyanto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *